Sabtu, 16 April 2011

Sampaikan Walau Satu Ayat

Rabu, 30 Maret 2011

Dakwah adalah satu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dari sudut bahasa, dakwah artinya mengajak atau menyeru. Adapun istilah dakwah yang biasa kita gunakan memiliki pengertian yang lebih khusus: mengajak dan menyeru manusia ke jalan Allah (da’watun naas ilallah). Ini artinya sangat luas, yakni mengajak dari kekafiran kepada keimanan, dari syirik kepada tauhid, dari kesesatan kepada petunjuk, dari kebodohan kepada ilmu, dari kehidupan jahiliyah kepada kehidupan islami, dari kemaksiatan kepada ketaatan, dari bid’ah kepada sunnah, dari keburukan kepada kebaikan. Adapun yang kita ajak adalah manusia seluruhnya, orang lain yang ada di sekitar kita. Orang kafir kita dakwahi agar mendapatkan hidayah keimanan dari Allah. Bahkan sesama muslim pun perlu didakwahi karena ternyata masih sangat banyak umat muslim yang suka melanggar ajaran agama.
Dari pengertian dakwah yang seperti ini, sebetulnya dakwah itu sangat luas. Dakwah tidak hanya terbatas pada ceramah agama dan tabligh akbar. Segala usaha dan upaya yang kita lakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dakwah sebagaimana tersebut diatas adalah dakwah. Karena itu, dakwah sebetulnya bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, mulai dari yang paling sederhana seperti memberi nasihat kepada teman kita, memberikan sedikit ilmu yang kita ketahui kepada orang lain, atau memberikan keteladanan yang baik.
Nah, dengan pemahaman seperti ini, sebetulnya semua orang bisa berdakwah. Dakwah bukan monopoli para ustadz atau para kyai. Siapapun bisa berdakwah, tentu saja sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing. Inilah makna dari sabda Rasulullah saw: Ballighuu ‘annii walau aayat ‘Sampaikan dariku meski hanya satu ayat.’ Ini artinya, jika engkau tahu satu ayat, sampaikan satu ayat. Jika engkau tahu dua ayat, sampaikan dua ayat. Demikian seterusnya. Jangan sampai kita tahu satu ayat – apalagi lebih – tetapi kita diam saja atau bahkan menyembunyikannya.
Sebetulnya, dakwah dalam pengertian yang luas seperti ini bukan hanya bisa dilakukan oleh semua orang, tetapi semestinya harus dilakukan oleh semua orang. Bukankah Allah Ta’ala telah menegaskan dalam QS Al-‘Ashr bahwa yang harus dilakukan oleh setiap orang agar tidak merugi, setelah beriman dan beramal shalih, adalah saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, yang tidak lain adalah dakwah itu sendiri.
Lebih dari sebuah kewajiban, dakwah sejatinya memiliki banyak keutamaan. Pertama, dakwah adalah tugas utama para rasul (muhimmatul rusul). Seluruh nabi dan rasul, tanpa kecuali, diutus oleh Allah dengan tugas utama untuk berdakwah. Dan keutamaan dakwah terletak  pada disandarkannya kerja dakwah ini kepada manusia yang paling utama dan mulia yakni para nabi dan rasul.
Selanjutnya, mari kita perhatikan firman Allah berikut ini:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah  kepada Allah dengan hujah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf [12]: 108).
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang mengikuti Rasulullah saw adalah orang-orang yang mengambil dakwah sebagai jalan hidupnya. Ini artinya, jika kita ingin menjadi pengikut Rasulullah saw maka tidak bisa tidak kita harus mau berdakwah.
Kedua, dakwah adalah amal perbuatan yang terbaik (ahsanul a’mal). Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushilat [41]: 33).
Sayyid Quthb berkata dalam Fi Zhilal Al-Quran: “Sesungguhnya kalimat dakwah adalah kalimat terbaik yang diucapkan di bumi ini, ia naik ke langit di depan kalimat-kalimat baik lainnya. Akan tetapi ia harus disertai dengan amal shalih yang membenarkannya, dan disertai penyerahan diri kepada Allah…”
Ketiga, dakwah akan diganjar oleh Allah dengan balasan yang besar dan berlipat ganda. Marilah kita simak sabda-sabda Rasulullah saw berikut ini:
“Orang yang menunjukkan kepada kebaikan seperti orang yang melakukannya.” (HR Ahmad, Abu Ya’la, dan Ibnu Abid Dunya)
“Siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya dicontoh (orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya tanpa dikurangi sedikit pun pahala mereka yang mencontoh nya. (HR. Muslim dari Jarir bin Abdillah ra).
“Demi Allah, sesungguhnya Allah SWT menunjuki seseorang karena (dakwah)mu maka itu lebih bagimu daripada unta merah.” (Bukhari, Muslim & Ahmad). Unta merah adalah kendaraan yang paling mewah dan paling dibanggakan di zaman Nabi.
Rasulullah saw berkata kepada Ali ra: “Wahai Ali, sesungguhnya Allah SWT menunjuki seseorang dengan usaha kedua tanganmu, maka itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya (lebih baik dari dunia dan isinya). (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
“Sesungguhnya Allah swt memberi banyak kebaikan, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan ikan-ikan selalu mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. Tirmidzi dari Abu Umamah Al-Bahili). Subhanallah, berapakah jumlah malaikat, semut dan ikan yang ada di dunia ini? Bayangkan betapa besar kebaikan yang diperoleh oleh seorang da’i dengan doa mereka semua!
Imam Tirmidzi setelah menyebutkan hadits diatas lalu mengutip ucapan Fudhail bin ‘Iyadh yang mengatakan: “Seorang yang berilmu, beramal dan mengajarkan (ilmunya) akan dipanggil sebagai orang besar (mulia) di kerajaan langit.”
Keempat, dakwah pada saat yang sama adalah nasihat bagi diri sendiri. Dengan demikian, sebelum dakwah itu bermanfaat bagi orang yang didakwahi, dakwah sudah memberikan manfaat kepada orang yang berdakwah itu sendiri. Dengan berdakwah, seseorang akan terpacu untuk senantiasa belajar, dan terpacu untuk beramal shalih sebagaimana yang ia dakwahkan kepada orang lain. Dengan berdakwah, seseorang juga akan memiliki rasa malu kepada Allah, diri sendiri, dan orang lain. Ia akan merasa malu jika ia tidak melaksanakan ketaatan sebagaimana yang ia dakwahkan. Ini tentu saja merupakan faktor positif yang akan mendorong seseorang untuk bisa bertahan menjadi orang yang baik.
Kelima, dakwah merupakan penyelamat dari adzab Allah. Allah SWT berfirman:
وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ -فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
“Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu , dan supaya mereka bertakwa. Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (Al-A’raf (7): 163-165).
Dalam ayat diatas, dengan tegas dinyatakan bahwa meskipun suatu masyarakat sudah sangat sulit diajak menjadi baik, kita tetap harus memberikan nasihat, agar kita mempunyai alasan dihadapan Allah yang bisa menyelamatkan kita dari adzab-Nya yang dahsyat. Jika ini tidak kita lakukan, maka bersiap-siaplah menerima adzab Allah yang akan ditimpakan secara merata, menimpa orang yang zhalim dan juga orang yang baik.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Anfal [8]: 25)
Absennya dakwah di tengah-tengah masyarakat juga akan mengakibatkan doa-doa kita tidak lagi didengar oleh Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi, beliau berkata: hadits ini hasan).
Dan keenam, dakwah merupakan jalan menuju khairu ummah (umat terbaik). Allah SWT berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali ‘Imran [3]: 110)
Dalam ayat diatas, dijelaskan dengan gamblang bahwa umat terbaik adalah umat yang menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah, yang tidak lain adalah dakwah itu sendiri.
Demikianlah sekian banyak keutamaan-keutamaan dakwah, yang membuat kita sadar bahwa lebih dari sebuah kewajiban, dakwah adalah kebutuhan kita sendiri. Karena itu, marilah setiap kita mengambil peran dan porsi dalam dakwah sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Allahu akbar! [Abdur Rosyid]

Sumber:Ikadi

Menjadi Pribadi Yang Bersyukur

Rabu, 28 April 2010 Admin 

Mereka (Para Jin) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya, di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur kepada Allah. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur”. (Saba’:13)
Ayat ini mengabadikan anugerah nikmat yang tiada terhingga kepada keluarga nabi Daud as sebagai perkenan atas permohonan mereka melalui lisan nabi Sulaiman as yang tertuang dalam surah Shaad: 35, “Ia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Betapa nikmat yang begitu banyak ini menuntut sikap syukur yang totalitas yang dijabarkan dalam bentuk amal nyata sehari-hari.
Tampilnya keluarga Daud sebagai teladan dalam konteks bersyukur dalam ayat ini memang sangat tepat, karena dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda:
“Shalat yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat nabi Daud; ia tidur setengah malam, kemudian bangun sepertiganya dan tidur seperenam malam. Puasa yang paling dicintai oleh Allah juga adalah puasa Daud; ia puasa sehari, kemudian ia berbuka di hari berikutnya, dan begitu seterusnya”.
Bahkan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim dari Tsabit Al-Bunani dijelaskan bagaimana nabi Daud membagi waktu shalat kepada istri, anak dan seluruh keluarganya sehingga tidak ada sedikit waktupun, baik siang maupun malam, kecuali ada salah seorang dari mereka sedang menjalankan shalat. Dalam riwayat lain yang dinyatakan oleh Al-Fudhail bin Iyadh bahwa nabi Daud pernah mengadu kepada Allah ketika ayat ini turun. Ia bertanya: “Bagaimana aku mampu bersyukur kepada Engkau, sedangkan bersyukur itupun nikmat dari Engkau? Allah berfirman, “Sekarang engkau telah bersyukur kepadaKu, karena engkau mengakui nikmat itu berasal daripada-Ku”.
Keteladanan nabi Daud yang disebut sebagai objek perintah dalam ayat perintah bersyukur di atas, ternyata diabadikan juga dalam beberapa hadits yang menyebut tentang keutamaan bekerja. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seseorang itu makan makanan lebih baik dari hasil kerja tangannya sendiri. Karena sesungguhnya nabi Daud as senantiasa makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”
Bekerja yang dilakukan oleh nabi Daud tentunya bukan atas dasar tuntutan atau desakan kebutuhan hidup, karena ia seorang raja yang sudah tercukupi kebutuhannya, namun ia memilih sesuatu yang utama sebagai perwujudan rasa syukurnya yang tiada terhingga kepada Allah swt.
Secara redaksional, yang menarik karena berbeda dengan ayat-ayat yang lainnya adalah bahwa perintah bersyukur dalam ayat ini tidak dengan perintah langsung “Bersyukurlah kepada Allah”, tetapi disertai dengan petunjuk Allah dalam mensyukuri-Nya, yaitu “Bekerjalah untuk bersyukur kepada Allah”. Padahal dalam beberapa ayat yang lain, perintah bersyukur itu langsung Allah sebutkan dengan redaksi fi’il Amr, seperti dalam firman Allah yang bermaksud, Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku”. (Al-Baqarah: 152), juga dalam surah Az-Zumar: 66, “Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.
Redaksi seperti dalam ayat di atas menunjukkan bahwa esensi syukur ada pada perbuatan dan tindakan nyata sehari-hari. Dalam hal ini, Ibnul Qayyim merumuskan tiga faktor yang harus ada dalam konteks syukur yang sungguh-sungguh, yaitu dengan lisan dalam bentuk pengakuan dan pujian, dengan hati dalam bentuk kesaksian dan kecintaan, serta dengan seluruh anggota tubuh dalam bentuk amal perbuatan.
Sehingga bentuk implementasi dari rasa syukur bisa beragam; shalat seseorang merupakan bukti syukurnya, puasa dan zakat seseorang juga bukti akan syukurnya, segala kebaikan yang dilakukan karena Allah adalah implementasi syukur. Intinya, syukur adalah takwa kepada Allah dan amal shaleh seperti yang disimpulkan oleh Muhammad bin Ka’ab Al-Quradhi.
Az-Zamakhsyari memberikan penafsirannya atas petikan ayat, “Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur kepada Allah” bahwa ayat ini memerintahkan untuk senantiasa bekerja dan mengabdi kepada Allah swt dengan semangat motifasi mensyukuri atas segala karunia nikmat-Nya. Ayat ini juga menjadi argumentasi yang kuat bahwa ibadah hendaklah dijalankan dalam rangka mensyukuri Allah swt.
Makna inilah yang difahami oleh Rasulullah saw ketika Aisyah mendapati beliau senantiasa melaksanakan shalat malam tanpa henti, bahkan seakan-akan memaksa diri hingga kakinya bengkak-bengkak. Saat ditanya oleh Aisyah, “Kenapa engkau berbuat seperti ini? Bukankah Allah telah menjamin untuk mengampuni segala dosa-dosamu?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah (jika demikian) aku menjadi hamba Allah yang bersyukur”. (HR. Al-Bukhari).
Pemahaman Rasulullah saw akan perintah bersyukur yang tersebut dalam ayat ini disampaikan kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra dalam bentuk pesannya setiap selesai sholat, “Hai Muaz, sungguh aku sangat mencintaimu. Janganlah engkau tinggalkan setiap selesai sholat untuk membaca do’a, “Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa berzikir (mengingatiMu), mensyukuri (segala nikmat)Mu, dan beribadah dengan baik”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Dalam pandangan Sayid Qutb, penutup ayat di atas “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur” merupakan sebuah pernyataan akan kelalaian hamba Allah swt dalam mensyukuri nikmat-Nya, meskipun mereka berusaha dengan semaksimal mungkin, tetapi tetap saja mereka tidak akan mampu menandingi nikmat Allah swt yang dikaruniakan terhadap mereka yang tidak terbilang. Sehingga sangat ironis dan merupakan peringatan bagi mereka yang tidak mensyukurinya sama sekali. Dalam hal ini, Umar bin Khattab ra pernah mendengar seseorang berdo’a, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit”. Mendengar itu, Umar terkejut dan bertanya, “Kenapa engkau berdoa demikian?” Sahabat itu menjawab, “Karena saya mendengar Allah berfirman, “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur”, makanya aku memohon agar aku termasuk yang sedikit tersebut.
Ciri lain seorang hamba yang bersyukur secara korelatif dapat ditemukan dalam ayat setelahnya bahwa ia senantiasa memandang segala jenis nikmat yang terbentang di alam semesta ini sebagai bahan perenungan akan kekuasaan Allah swt yang tidak terhingga, sehingga hal ini akan menambah rasa syukurnya kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Allah swt berfirman diantaranya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur”. (Saba’:19). Ayat yang senada dengan redaksi yang sama diulang pada tiga tempat, yaitu surah Ibrahim: 5, Luqman: 31, dan surah Asy-Syura’: 33.
Memang komitmen dengan akhlaqul Qur’an, di antaranya bersyukur merupakan satu tuntutan sekaligus kebutuhan di tengah banyaknya cobaan yang menerpa bangsa ini dalam beragam bentuknya. Jika segala karunia Allah swt yang terbentang luas dimanfaatkan dengan baik untuk kebaikan bersama dengan senantiasa mengacu kepada aturan Allah swt, Sang Pemilik Tunggal, maka tidak mustahil, Allah swt akan menurunkan rahmat dan kebaikanNya untuk bangsa ini dan menjauhkannya dari malapetaka, karena demikianlah balasan yang tertinggi yang disediakan oleh Allah swt bagi komunitas dan umat yang senantiasa mampu mensyukuri segala bentuk nikmat Allah swt:
Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui”. (An-Nisa’:147) Allahu A’lam.

 Dr. Attabiq Luthfi, MA

Dakwatuna

Arruhul Jadid

Semangatkan diri dengan meningkatkan ruhiyah melalui beribadah yang berkualitas dan disertai niat Ikhlas kepada-Nya