oleh Abdul Mutaqin Sabtu, 13/06/2009 06:04 WIB (Sumber: EraMuslim)
Aku duduk sambil tersungut di pojok beranda masjid. Hatiku geram. Sesekali gemerutuk gigi-gigi geraham yang bertubrukan menggoyang-goyang pipiku. Hembusan nafas antara putus asa dan rasa marah kulempar berulangkali. Kalau saja bukan karena di masjid, ingin segera kutumpahkan segala caci maki dan kejengkelanku sampai aku puas. Puas menumpahkan emosi kepada siapa yang telah menzalimi diriku.
Pandanganku menyapu tangga masjid tua itu sekali lagi. Dari satu pojok ke pojok yang lain. Dari satu tangga ke tangga yang lain. Bahkan rak sepatu dan sandal di sisi tempat penitipan barang telah aku periksa berungkali. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya aku menerima kehilangan itu dengan terpaksa. Terpaksa menahan marah, jengkel, kecewa di ”Rumah” Tuhan. Terpaksa pula kehilangan kesabaran karena dizalimi di ”Rumah” Tuhan.
Tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang kakek tua berjubah putih telah duduk persis di samping kananku. Aku setengah takjub. Belum hilang rasa jengkelku karena kecurian, kedatangan pria yang seolah misterius ini menambah kalut mesin beripikir di kepalaku. Meskipun begitu, sejenak aku terhibur. Ia tersenyum amat berwibawa. Wajahnya berseri. Janggutnya yang lebat rapih menyihirku. Ia menatapku dalam menghujam.
”Apa yang Engkau risaukan, anak muda?”, sapanya. Suaranya khas sekali. Berat dan kharismatik.
”Bapak, siapa?”, kujawab sapaannya dengan balik bertanya.
”Sama seperti kamu, anak muda. Hamba Tuhan. Mengapa wajahmu kelihatan marah dan tertekan?”, ia kembali bertanya tentang perasaanku.
”Saya kehilangan sandal. Sandal seharga duaratus limapuluh ribu. Baru saya pakai sakali ini”, jawab saya datar tidak seperti lahar kejengkelan yang membara sebelum bertemu laki-laki sepuh ini.
”Cuma sandal?”, ia balik bertanya mendengara jawaban saya.
”Ya, memang cuma sandal. Tapi harganya cukup mahal”, kilahku.
”Duaratus limapuluh ribu, itu harga yang murah. Belum sebanding”, kali ini pernyataannya lebih ditekan. Perasaanku ikut tertekan.
Sejurus, lelaki sepuh berjubah putih itu berdiri. Tangannya diulurkan ke arahku. Anggukan kepalnya memberi isyarat, agar aku mengikuti langkahnya. Aku menurut saja.
”Mari saya carikan obat”.
Obat? Aku tak butuh obat pikirku. Kalaupun yang kubutuhkan sekarang adalah sandalku kembali. Aku juga butuh tahu siapa orang yang telah mencurinya. Kalau perlu aku akan menghajarnya karena telah mengambil milik orang yang bukan haknya.
Aku terus mengikutinya hingga sampai di suatu tempat yang mirip pasar tradisional tapi lengang. Aku dibawanya mampir ke sebuah toko. Susana di sekitar toko itu pun sepi. Hanya ada satu dua orang saja yang melintas dan melihat-lihat barang yang dijual. Kesepiannya mengantarku seperti tengah berada di negeri asing. Suasana dan orang-orang yang kujumpai asing. Orang yang mengajakku pun asing. Lalu, Aku ditunjukkan pada pemilik toko yang juga asing. Aku kemudian tahu, ia menjual sepatu dan sandal-sandal bekas.
”Anak muda, singgahlah sebentar dan tumpahkan kekesalanmu pada pemilik toko ini. Mudah-mudahan hatimu ridha atas sandalmu. Sandalmu belum sebanding”. Aku belum tetap mengerti maksud ucapan ”belum sabanding” lelaki sepuh itu. Aku ingin menanyakannya, tetapi ia keburu menghilang. Entah kemana.
Tapak kakiku terasa panasperih. Kerikil dan tanah kering yang terbakar terik matahari, leluasa menusuk-nusuk hingga ke ujung jari kakiku yang tak lagi bersandal. Kakiku tersiksa oleh keculasan si pencuri. Dia telah memecah-mecah tumitnya hingga menyisakan garis-garis hitam. Jelek dan kusam. Yang kumaki kini bukan lagi si pencuri sandal, tapi juga kuratapi nasib kedua kakiku.
Kuhampiri lebih dekat toko itu. Lebih dekat, kulihat sosok laki-laki bersurban duduk bersila di atas dipan. Gamisnya menutup tubuhnya hingga kedua kakinyapun tersembunyi. Melihat kedatanganku dan mendekat, laki-laki itu tersenyum dan menyambut hangat. Tapi sedikitpun ia tidak bergeser dari duduknya. Hanya mempersilahkan aku melihat-lihat barang bekasnya.
”Silahkan anak muda. Barangkali ada yang berkenan di hatimu”, laki-laki itu menyapa dan menawarkan dagangannya. Aku merasa ada baiknya memilih sepasang.
” Terima kasih. Kalau bukan karena pencuri sialan itu, mungkin saya tidak akan sampai di sini”. Aku mulai memaki lagi nasib buruk beberapa saat lalu. Tanpa terasa keluhan atas semua kesialanku tertumpah. Kumaki habis pencuri sandal mahalku itu seolah ia tepat di depanku. Suaraku geram, mataku jalang dan lidah kemarahanku menyambar-nyambar dinding caci maki dan menumpahkannya sebanyak mungkin sampai aku capek sendiri.
”Inna lillahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Sebegitu marah dan kecewanyakah Engkau anak muda?”, tiba-tiba laki-laki pemilik toko itu bicara. Segera Aku sepenuhnya sadar, bahwa pemilik toko itu menangkap semua emosi yang kutumpahkan. Umpat, caci maki dan seribu kata keji mungkin ia tangkap pula seluruhnya. Menatap matanya, aku malu. Mendengar responnya, aku membisu.
”Marah dan kata-kata kasarmu tidak sebanding dengan sandalmu yang dicuri. Jika si pencuri itu hadir di matamu, luka hatinya atas cacianmu tidak sepadan dengan luka memar di kakimu itu. Padahal kamu belum tahu alasan mengapa ia mencuri”, pemilik toko itu menghujam ulu hatiku dengan ucapannya yang tajam lagi datar. Aku terperangah dengan muka memerah. Kini aku jadi bulan-bulanan atas mulutku sendiri.
Laki-laki itu melanjutkan, ” padahal bisa jadi ia mencuri karena terpaksa, bukan semata-mata karena kebiasaannya mencuri. Mungkin karena lapar, anak dan isterinya juga kelaparan atau karena satu dan lain hal sehingga memaksanya mengambil milik orang lain”.
”Tapi, mungkin juga karena memang orang itu terbiasa mencuri, bukan? Bahkan dilakukannya di masjid, Rumah Tuhan”, Aku mencoba membela diri.
”Mungkin juga. Bahkan karena nekatnya, di masjid pun ia lakukan. Namun, sikapmu menerima situasi demikian tidak pantas Anak Muda. Caci dan makianmu tidak mengembalikan sandalmu yang hilang, sementara mulutmu telah tidak sadar kau kotori dengan dosa oleh cacianmu itu”.
Ulu hatiku semakin sakit. Aku yang tengah dirundung sial terus terpojok. Aku membatin. Tapi, kata-kata penjaga toko itu perlahan mempengaruhi kesadaranku. Ego dan amarahku hampir redup disiram bijak kata-katanya, meskipun letupan-letupan dendam kesumat kecil masih timbul tenggelam di ujung nafsu amarah.
”Sandal itu cukup mahal bagi saya. Dua ratus lima puluh ribu hampir seperdelapan dari gaji saya setiap bulan untuk harganya. Lagi pula, baru sekali ini saya pakai. Wajar kan jika saya kecewa dan marah?”, Aku masih mencoba bertahan di antara sisa-sisa ke-Aku-an yang kian padam.
Laki-laki pemilik toko itu hanya tersenyum mendengar pembelaanku. Kepalanya menggeleng-geleng ritmis. Alisnya yang bertaut bergerak ke atas mengikuti gerak tubuhnya yang bergeser mendekati tepi dipan.
“ Engkau masih beruntung, Anak muda. Karena cuma sandalmu yang hilang. Harga dirimu tidak koyak, rasa malumu tetap terjaga dan kepercayaan dirimu masih utuh. Kamu masih patut bersyukur sebab masih dapat berjalan tegak meskipun tanpa sandal. Kamu tidak pantas menjadi laki-laki rapuh dihantam marah hanya karena kehilangan harga dua ratus lima puluh ribu saja. Lihatlah keadaanku”.
Laki-laki itu menyingkap ujung bawah gamisnya. Aku terkesiap. Ya Tuhan, dua kakinya buntung sebatas pergelangan. Aku merinding disergap ngeri. Tenggorokanku kering kerontang seketika. Inikah arti dari ucapan ”belum sebanding” orang sepuh beberapa saat lalu?
”Aku kehilangan dua pergelangan kaki, Anak muda. Aku juga tidak tahu berapa harga kedua kaki itu. Yang kuingat bahwa kecelakaan kerja yang kualami lima tahun lalu merenggut keduanya. Aku masih bersyukur nyawaku selamat. Allah masih menyayangiku. Lagi pula Aku tidak pernah membayar untuk sepasang kaki itu. Gratis. Kecelakaan itu adalah sunnatullah bahwa Yang Maha Memberi, meminta kaki yang dititipkan padaku dikembalikan pada-Nya. Kamu masih lebih beruntung berlipat-lipat. Allah hanya meminta sandalmu, bukan kakimu. Lihatlah, kakimu masih menapak dengan jemarinya yang masih utuh”.
Aku membatu dalam kebisuan. Hancur lebur sudah kemarahan yang sejak tadi kumanjakan. Gemuruh dadaku berubah warna dari merah membara menjadi putih kebiruan. Sejuk, lumer dan dan akhirnya kerdil.
” Anak muda, jangan pernah berpikir absolut bahwa apa yang selama ini kita genggam adalah milik kita. Semua hal yang Kau pandang sebagai kekayaan, apapun wujudnya, hakikatnya hanya titipan. Manusia hanya sebatas diberi hak untuk memanfaatkan dalam kebaikan. Bukan memiliki sekehendak hati, apalagi dengan membabi buta seperti orang yang lupa bahwa dunai ini pun akan ditinggalkannya. Kalau hanya sekedar sandal saja Engkau sudah begitu takabur, bagaimana dengan kehidupanmu yang kelak juga akan diambil-Nya?”.
Habis sudah diriku. Habis sudah egoku. Air hangat meleleh dari kedua kelopak mataku. Dadaku sesak oleh luapan tangis yang kutahan sedapat mungkin. Tagi guncangannya tak kuat kutahan. Sampai kemudian aku sadar sesadar sadarnya.
”Ayah, bangun Yah, sudah jam empat”.
Antara jaga dan tidur aku merasakan sentuhan lembut di pundaku. Suara yang amat kukenal membangunkanku dari selimut malam dan menghentikan dengkurnya. Aku bangun dengan kelopak mata yang basah. Aku menangis dalam tidur, tapi air mata dan penggalan mimpi terbawa di alam jaga. Aku benar-benar hanyut. Jauh, jauh sekali. Ya Allah mimpi apa itu? Apakah Engkau tengah menegurku sebab beberapa minggu lalu Aku sempat mengeluh lama karena kehilangan telepon genggam untuk yang kedua kali?
Alhamdulillah, Aku masih hidup dan masih diberi kesempatan menghirup udara pagi. Ya Allah, rizki yang kau beri memang datang dan pergi silih berganti. Ampuni Aku Ya Rabb.