Selasa, 02 Juni 2015

Fenomena Rumah Tangga

Dalam memilih pasangan hidup, para perempuan sebaiknya memprioritaskan faktor agama sebagai bahan pertimbangan paling mendasar, jika ia menjadikan materi sebagai pilihan maka materi bisa saja menjadi ujian bagianya, jika hanya melihat fisiknya, maka bentuk tubuh bisa saja berubah seiring dengan bertambahnya usia.
Para perempuan janganlah mudah tergoda dengan bujuk rayu dari lelaki asing yang baru saja dikenalnya, jangan pula mudah silau dengan jabatan seseorang sebelum ia melihat dan mendengar kepribadian, agama, latar belakang dan keluarganya. Hal ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan para perempuan yang ingin mencari kebahagiaan dalam hidupnya.
Dalam kehidupan berumah tangga sebenarnya tidak ada istilah bahwa pasangan sudah tidak lagi mencinta, pernikahan sudah tidak indah, ini semua hanya mitos yang harus segera disingkirkan, yang ada hanyalah kurangnya membangun komunikasi yang harmonis, krisis pengertian dan kurangnya komitmen di antara kedua belah pihak, baik pra pernikahan maupun ketika sudah hidup dalam satu atap, makan sepiring berdua dan susah senang dilalui bersama.
Di sisi lain banyak terjadi gesekan saat seseorang mengalami masalah dalam keluarganya, kadang kala ada saja pihak yang mendukungnya untuk segera menuju meja hijau padahal belum ada dialog dari keluarga yang bertikai. Alangkah sayangnya jika kejadian seperti ini banyak terjadi di masyarakat.
Duduk perkaranya bukan mendukung apalagi mengompori orang yang sedang bertikai agar segera berpisah tanpa mengetahui sebabnya terlebih dahulu, tapi sebagai seorang yang beragama seyogyanya menjadi juru damai sesuai dengan petunjuk Kitab suci.
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam[[1]] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (An Nisaa: 35).
Sebagian orang menilai perpisahan bisa menjadi solusi, padahal dalam mengatasi konflik rumah tangga bukan pada perceraian saja melainkan di sana ada dialog antara kedua belah pihak dengan duduk bersama-sama agar permasalahannya dapat didudukkan (baca: diselesaikan).
Jika konflik dalam rumah tangga dihadapi dengan mengedepankan emosi dan menghilangkan logika, hal ini bukanlah jalan keluar, berapa banyak para suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya dan begitu juga istri yang memaksa meminta untuk dicerai, mereka mengucap dan melakukannya dalam keadaan emosi.
Saat terjadi konflik dalam rumah tangga sebaiknya seseorang memperbanyak istighfar (memohon ampunan kepada Allah Ta’ala) agar ia senantiasa dilindungi dari segala jenis bisikan setan dari perbuatan dan perkataan yang kurang berkenan.
Penderitaan kaum perempuan bukanlah pada sulitnya menjalani kehidupan, melainkan karena tidak mudahnya mereka menemukan cinta atau salah pilih cinta (baca: pasangan hidup). Kenapa demikian?
Karena kegagalan seseorang dalam membina rumah tangga bisa membawanya ke jurang derita serta membuat hidupnya menjadi kurang bergairah, tak terkecuali bagi para lelaki. Paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan berumahtangga:
  1. Jangan mengambil keputusan ketika dalam puncak kemarahan.
  2. Jangan memberi janji ketika dalam puncak kesenangan
Seseorang yang beragama sepatutnya pandai bersabar ketika ditimpa suatu masalah dan pandai bersyukur dengan segala karunia Tuhan dengan bersikap sederhana dan tidak terlihat euforia, begitu juga saat seseorang sedang marah hendaknya membentengi dirinya dengan banyak mengucap ampunan kepada-Nya dan belajar untuk terus menjadi pribadi yang mudah memaafkan.
Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.(Al Baqarah: 237)

Mengenal Khulu’
Bagaimana dengan para perempuan yang sudah terlanjur menikah, bahkan terbesit perasaan menyesal dengan pasangan hidupnya dan berniat ingin segera berpisah. Adakah solusi yang ditawarkan agama?
Di perspektif Islam diperbolehkan seseorang untuk bercerai jika alasannya karena terpaksa, sebagai contoh seorang istri yang sudah tidak tahan hidup dengan suaminya lantaran suaminya tidak bertanggung jawab, tidak memberi nafkah lahir bathin, tidak memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, sering melanggar aturan agama, jauh dari ketaatan dan alasan mendesak lain yang bersifat normatif.
Seorang istri boleh saja mengajukan permintaan untuk dicerai demi kemaslahatan, dalam ilmu fiqih disebut dengan “Khulu” yaitu gugatan cerai yang diminta pihak istri kepada suaminya dengan membayar kompensasi yang disepakati oleh kedua belah pihak (suami-istri), dalam hal ini suami tidak diperkenankan memberatkan istrinya, seperti dengan kata-kata berikut:
“Kalau kamu ingin bercerai boleh saja, asalkan kamu (istri) membayar kompensasi dengan segudang emas, berlian seberat pohon beringin dan uang puluhan miliar atau alasan irasional lainnya yang memberatkan sang istri”.
Seorang suami jika merasa berat untuk berpisah dan cinta kepada istrinya hendaknya ia bisa menjaga dirinya dengan menjadi pribadi menawan di hadapan belahan jiwanya, bukan sebaliknya membuat istrinya tidak tahan bersamanya karena perilakunya.
Gugatan istri tetap berada di tangan suami. Lain halnya jika perkaranya sudah masuk ke pengadilan, maka hakim di pengadilan yang akan memutuskan perkara. Kenapa demikian?
Karena dalam perspektif Islam jika seseorang ingin melangsungkan pernikahan, maka harus secara baik-baik dan jika ingin berpisah, perpisahannya harus dilakukan secara baik-baik pula tanpa harus ada yang disakiti apalagi dirugikan.
Dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” (Al Ahzab: 49)
Seorang istri tidak bisa begitu saja mengajukan Khulu tanpa ada sebab, jika tidak ada alasan, berarti permintaannya mengada-ada, hal ini mengesankan seseorang telah mempermainkan kesakralan pernikahan yang bisa mengundang kerusakan bagi kehidupan sosial.
Bagaimanapun juga anak-anaklah yang menjadi korban dari fenomena sosial yang marak ini, bila masih mungkin untuk bersatu, maka ada baiknya seorang perempuan tidak cepat-cepat memutuskan untuk menempuh jalur ‘Khulu”, karena masih ada dialog sebagai pintu keluar yang sangat dianjurkan dalam agama.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Perempuan mana yang meminta perceraian dari suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya aroma surga.” (HR. Ahmad. Abu Daud, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan sahabat Tsaubaan)
Jika seseorang mengetahui bahwa perceraian adalah kejadian yang sangat disukai setan. Maka ia akan senantiasa berhati-hati dalam mengambil keputusan. Hal ini sesuai dengan petunjuk hadits yang diriwayatkan Imam Muslim.
“Sesungguhnya Iblis meletakkan kerajaannya di atas air. Lantas, mengutus pasukan-pasukannya. Prajurit yang paling dekat dengannya, ia adalah yang paling besar fitnahnya. Kemudian salah satu dari mereka datang untuk melaporkan:
“Aku telah melakukan ini dan itu!” maka Iblis berkomentar. “Engkau tidak melakukan apa-apa!”. Selanjutnya yang lain datang seraya berkata: “Tidaklah aku tinggalkan (anak adam) sampai aku pisahkan dirinya dengan istrinya,” maka Iblis mendekatkannya seraya berseru: “Bagus benar dirimu”. (HR. Muslim)

[1]. Hakam ialah juru pendamai.

Sumber: dakwatuna